Rss

Minggu, 14 Mei 2017

Klasifikasi Citra (PCD 2017)

Klasifikasi citra merupakan proses yang berusaha mengelompokkan seluruh pixel pada suatu citra ke dalam sejumlah class (kelas), sedemikian hingga tiap class merepresentasikan suatu entitas dengan properti yang spesifik (Chein-I Chang dan H.Ren, 2000)Klasifikasi citra merupakan proses yang berusaha mengelompokkan seluruh pixel pada suatu citra ke dalam sejumlah class (kelas), sedemikian hingga tiap class merepresentasikan suatu entitas dengan properti yang spesifik (Chein-I Chang dan H.Ren, 2000). Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1990), dibagi ke dalam dua klasifikasi yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). 

Klasifikasi Citra Terawasi (Supervised)
Penggunaan istilah terawasi disini mempunyai arti berdasarkan suatu referensi penunjang, dimana kategori objek-objek yang terkandung pada citra telah dapat diidentifikasi. Klasifikasi ini memasukkan setiap piksel citra tersebut kedalam suatu kategori objek yang sudah diketahui.Sebelum klasifikasi dilakukan, maka kita harus memasukkan inputan sebagai dasar pengklasifikasian yang akan dilakukan. Dengan klasifikasi ini, kita lebih bebas untuk memilah data citra sesuai dengan kebutuhan. Misalnya dalam suatu kawasan kita hanya akan melakukan klasifikasi terbatas pada jenis jenis kenampakan secara umum semisal jalan, pemukiman, sawah, hutan, dan perairan. Hal tersebut dapat kita lakukan dengan klasifikasi ini. Proses input sampel juga cukup mudah, hanya saja perlu ketelitian dan pengalaman agar sampel yang kita ambil dapat mewakili jenis klasifikasi. Baik buruknya sampel, Diwujudkan dalam nilai indeks keterpisahan.
Proses klasifikasi dengan pemilihan kategori informasi yang diinginkan dan memilih training area untuk tiap ketegori penutup lahan yang mewakili sebagai kunci interpretasi merupakan klasifikasi terbimbing. Klasifikasi terbimbing digunakan data penginderaan jauh multispectral yang berbasis numeric, maka pengenalan polanya merupakan proses otomatik dengan bantuan komputer.
Klasifikasi terbimbing yang didasarkan pada pengenalan pola spectral terdiri atas tiga tahapan, yaitu:
1. Tahap training sample: analisis menyusun kunci interpretasi dan mengembangkan secara numeric spectral untuk setiap kenampakan dengan memeriksa batas daerah (training area).
2. Tahapan klasifikasi: setiap pixel pada serangkaian data citra dibandingkan steiap kategori pada kunci interpretasi numeric, yaitu menentukan nilai pixel yang tak dikenal dan paling mirip dengan kategori yang sama. Perbandingan tiap pixel citra dengan kategori pada kunci interpretasi dikerjakan secara numeric dengan menggunakan berbagai strategi klasifikasi (dapat dipilih salah satu dari jarak minimum rata-rata kelas, parallelepiped, kemiripan maksimum). Setiap pixel kemudian diberi nama sehingga diperoleh matrik multi dimensi untuk menentukan jenis kategori penutupan lahan yang diinterpretasi.
3. Tahapan keluaran: hasil matrik didenileasi sehingga terbentuk peta penutupan lahan, dan dibuat tabel matrik luas berbagai jenis tutupan lahan pada citra.

Klasifikasi Citra Tak Terawasi (Unsupervised)
Proses klasifikasi disebut tidak terawasi, bila dalam prosesnya tidak menggunakan suatu referensi penunjang apapun. Hal ini berarti bahwa proses tersebut hanya dilakukan berdasarkan perbedaan tingkat keabuan setiap piksel pada citra. Klasifikasi citra tak terawasi mencari kelompok-kelompok (cluster) piksel-piksel, kemudian menandai setiap piksel kedalam sebuah kelas berdasarkan  parameter-parameter pengelompokkan awal yang didefinisikan oleh penggunanya.
Klasifikasi unsupervised melakukan pengelompokan data dengan menganalisa cluster secara otomatis dan menghitung kembai rata-rata kelas (class mean) secara berulang-ulang dengan computer.
Sumbu horizontal menunjukkan nilai piksel pada band2 dan sumbu vertical menunjukkan nilai kecerahan piksel pada band1. Pengelompokan piksel menjadi kelas spectral diawali dengan menentukan jumlah kelas spectral yang akan dibuat. Penentuan jumlah kelas ini dapat dilakukan dengan memperhatikan jumlah puncak histogram sehingga diperoleh jumlah kelas spectral yang akan dibentuk. Setelah jumlah kelas spectral ini ditentukan kemudian dipilih pusat-pusat kelas spectral terhadap setiap pusat kelas spectral. Berdasarkan hasil pengukran jarak ini setiap piksel dikelompokkan ke dalam suatu kelas spectral yang memiliki jarak terdekat.
Setelah setiap piksel dikelompokkan lalu masing-masing rata-rata kelas spectral dihitung kembali. Kemudian dilakukan lagi pengukuran jarak setiap piksel terhadap rata-rata kelas baru ini dan akhirnya piksel dikelompokkan ke dalam kelas spectral yang memiliki jarak terdekat.
Parameter yang menentukan pemisahan dan pengelompokan piksel-piksel menjadi kelas spectral yaitu:
1. Standar deviasi maksimum, nilai standari deviasi maksimum yang sering digunakan berkisar antara 4,5 sampai 7
2. Jumlah piksel minimum dalam sebuah kelas spectral dinyatakan dalam persen (%).
3. Nilai pemisahan pusat kelas yang dipecah
4. Jarak minimum antara rata-rata kelas spectral, berkisar antara 3,2 sampai 3,9.
Proses pemisahan dan pengelompokkan piksel-piksel menjadi kelas-kelas spectral terus diulangi dan akan dihentikan bila telah memenuhi salah satu ketentuan:
1. Jumlah iteasi maksimum, jumlah iterasi dapat ditentukan sesuai dengan kebutuhan
2. Jumlah piksel yang kelas spektralnya tidak berubah antara iterasi (dalam persentase, %).
Setelah kelas spectral terbentuk umumnya dilakukan proses asosiasi antaa obyek dan kelas spectral terbentuk untuk mengidentifikasi kelas spectral menjadi kategori obyek tertentu. Pengidentifikasian kelas spectral menjadi obyek tertentu dapat dilakukan menggunakan suatu data acuan atau referensi penunjang.
Setelah semua kelas spectral teridentfikasi kemudian dapat dilakukan penyederhaan untuk menggabungkan kelas-kelas yang tergolong sama, misalnya pengabungan perkampungan 1 dan perkampungan 2 menjadi satu kelas perkampungan. Hasil klasifikasi dapat ditunjukka dari gradasi warna yang terbentuk yang menunjukkan jenis kelas yang dikelompokkan oleh komputer.
Sumber :
  1. http://geod-4-us.blogspot.co.id/2012/09/klasifikasi-citra.html
  2. http://rahmiariani.blogspot.co.id/2009/04/klasifikasi-citra.html

Minggu, 26 Maret 2017

Resolusi Pengindraan (PCD 2017)

“Resolusi adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi yang secara spasial berdekatan atau secara spektral mempunyai kemiripan”
(Swain dan Davis, 1978)

Karakteristik dari instrumen penginderaan jauh yang beroperasi pada spektrum tampak dan IR dapat dijelaskan oleh resolusi spasial, spektral, dan radiometrik (Mather, 2004). Seiring berjalannya waktu ditambahakan aspek waktu (temporal) di dalamnya. Dalam bidang penginderaan jauh, terdapat empat konsep reolusi yang sangat penting, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi temporal. Resolusi layar pun memegang peranan penting ketika berkaitan dengan praktik pengolahan citra (Danoedoro, 2012).

Resolusi spasial dalam penginderaan jauh bukanlah konsep yang mudah untuk didefinisikan. Hal tersebut dapat dijelaskan pada bentuk angka dengan berbagai cara tergantung tujuan penggunanya (Mather, 2004). Pada pemahaman secara komprehensif, Townsend (1980) menjelaskan bahwa terdapat empat kriteria tersendiri yang berguna menjadi dasar dalam pendefinisian resolusi spasial. Kriteria-kriteria tersebut ialah informasi geometris dari sistem penginderaan jauh, kemampuan untuk membedakan antar titik-titik target, kemampuan untuk mengukur secara periodik target yang berulang, dan kemampuan untuk mengukur informasi spektral dari target-target yang kecil. Danoedoro (2012) menjelaskan pengertian praktis dari resolusi spasial adalah ukuran terkecil yang masih dapat dideteksi oleh suatu sistem pencitraan. Semakin kecil ukuran objek (terkecil) yang dapat terdeteksi, semakin halus atau tinggi resolusi spasialnya. Begitu pula sebaliknya, semakin besar ukuran objek terkecil yang dapat terdeteksi, semakin kasar atau rendah resolusinya. Sebagai contoh ialah, citra satelit SPOT yang beresolusi 10 dan 20 meter dapat dikatakan beresolusi lebih tinggi dibandingkan dengan citra satelit Landsat TM yang beresolusi 30 meter.

Resolusi spektral adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi (objek) berdasarkan pantulan atau pancaran spektralnya (Danoedoro, 2012). Jika semakin banyak jumlah salurannya terlebih lagi dengan julat yang sempit maka akan semakin tinggi kemungkinannya untuk membedakan objek-objek berdasarkan respons spektralnya. Hal ini menjelaskan bahwa semakin sempit julat (interval panjang gelombangnya) dan/atau banyak jumlah salurannya dapat dikatakan semakin tinggi pula resolusi spektral yang dimiliki.

Resolusi radiometrik atau tingkat sensitivitas radiometrik mengacu pada nilai dari tingkat kuantisasi digital yang digunakan untuk mengekspresikan data yang dikumpulkan oleh sensor (Mather, 2004). Danoedoro (2012) menjelaskan bahwa resolusi radiometrik ialah kemampuan sensor dalam mencatat respons spektral objek. Sensor yang peka dapat membedakan selisih respons yang paling lemah sekalipun. Kemampuan sensor ini secara langsung dikaitkan dengan kemampuan koding, yaitu mengubah intensitas pantulan atau pancaran spektral menjadi angka digital. Kemampuan ini dinyatakan dalam bit. Landsat 7 ETM+ memiki resolusi radiometrik sebesar 8 bit yang berarti 256 tingkat kecerahan (0-255), 0 untuk sinyal terlemah (hitam) dan 255 untuk sinyal terkuat (putih). Berbeda halnya dengan Landsat 8 OLI yang memiliki resolusi radiometrik sebesar 16 bit yang berarti 65536 tingkat kecerahan 0 untuk sinyal terlemah (hitam) dan 65535 untuk sinyal terkuat (putih). Hal tersebut menjelaskan bahwa Landsat 8 OLI memiliki resolusi radiometrik lebih tinggi dibandingkan Landsat 7 ETM+. Semakin tinggi resolusi radiometrik yang dimiliki maka akan semakin tinggi pula kemampuan untuk membedakan objek-objek di permukaan bumi.

Resolusi temporal ialah kemampuan suatu sistem untuk merekam ulang daerah yang sama (Danoedoro, 2012). Satuan dari resolusi temporal ialah jam atau hari. Contohnya ialah Satelit IKONOS resolusi temporalnya ialah 3 hari, satelit NOAA resolusi temporalnya 12 jam, dan satelit Landsat 8 resolusi temporalnya ialah 30 hari. Landsat 8 memiliki resolusi temporal lebih rendah dibandingkan IKONOS sedangkan IKONOS memiliki resolusi temporal lebih rendah dibandingkan NOAA.

Keunggulan, Keterbatasan dan Kelemahan inderaja

Keunggulan Inderaja
Menurut Sutanto (1994:18-23), penggunaan penginderaan jauh baik diukur dari jumlah bidang penggunaannya maupun dari frekuensi penggunaannya pada tiap bidang mengalami pengingkatan dengan pesat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
  • Citra menggambarkan obyek, daerah, dan gejala di permukaan bumi dengan; wujud dan letak obyek yang mirip ujud dan letak di permukaan bumi, relatif lengkap, meliputi daerah yang luas, serta bersifat permanen.
  • Dari jenis citra tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga dimensional apabila pengamatannya dilakukan dengan alat yang disebut stereoskop.
  • Karaktersitik obyek yang tidak tampak dapat diwujudkan dalam bentukcitra sehingga dimungkinkan pengenalan obyeknya.
  • Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara terestrial.
  • Merupakan satu-satunya cara untuk pemetaan daerah bencana.
  • Citra sering dibuat dengan periode ulang yang pendek.
Keterbatasan Inderaja
Berupa ketersediaan citra SLAR yang belum sebanyak ketersediaan citra lainnya. Dari citra yang ada juga belum banyak diketahui serta dimanfaatkan (Lillesand dan Kiefer, 1979). Di samping itu jugaharganya yang relative mahal dari pengadaan citra lainnya (Curran, 1985).
Kelemahan Inderaja
Walaupun mempunyai banyak kelebihan, penginderaan jauh juga memiliki kelemahan antara lain sebagai berikut
  • Orang yang menggunakan harus memiliki keahlian khusus;
  • Peralatan yang digunakan mahal;
  • Sulit untuk memperoleh citra foto ataupun citra nonfoto.
 


Sumber :
Danoedoro, P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
Mather, P. M. 2004. Computer Processing of Remotely Sensed Data: An Introduction, 3rd edition. Brisbane: John Wiley and Sons.
Swain, P. H., dan Davis, S. M. (Ed.). 1978. Remote Sensing – The Quantitative Approach. New York: McGraw Hill.
Townsend, J.R.G.. 1980. The Spatial Resolving Power of Earth Resources Satellites: A Review. Nasa technical Memorandum 82020. Goddard Spaceflight Center. Greenbelt. Maryland.